Kenangan Sepintas

Aku tidak butuh dikenal banyak orang, yang kubutuh adalah dikenal Tuhan oleh karena seringnya doamu menyebut namaku. Hingga kemudian Tuhan akrab dengan kita. Melimpahkan semua yang tengah kita bangun dengan sesuatu yang sering kita sebut, bahagia.

Kau mungkin sering melihatku, aku serasa tidak peduli. Tapi mengertilah, aku merindukanmu, jauh lebih besar dari yang kau bayangkan. Walaw pada akhirnya kita harus berakhir seperti ini. Setidaknya aku berharap ada waktu dimana kita bisa saling jujur tentang semua yang kita rasa kemarin.

Aku tak ingin kau pergi dengan meninggalkan tanda tanya besar di kepala.

Masih terekam dengan jelas dalam ingatanku. Tentang pagi itu, tentang siang itu, tentang keadaan itu.

Bagaimana kau duduk di sebelahku, bagaimana kau jalan disampingku, bagaimana caramu menatapku. Ketika kau sadar dari jauh ada aku yang terus memperhatikanmu. Seandainya kita bisa terus sedekat ini, mungkin luka karena tidak memilikimu tak sebanding dengan nyaman telinga mendengar suaramu.

Hai kamu !!

Aku adalah sosok yang mungkin tak kau lihat. Sosok yang hampir setiap hari memandangimu dalam gelak tawa, obrolan, dan pandangan tak perduli. Sosok yang jelas sama sekali tak kau hiraukan. Tahukah kau jika sejak awal aku telah menulis diam-diam namamu di sela hatiku? Bahwa diam-diam juga aku sering membisikkan namamu itu dan kucurhatkan kepada Tuhanku? Kau takkan pernah tau. Karena aku lebih memilih melakukannya diam-diam.

Jika saja kau mau duduk tenang di hadapanku dan mendengarkan segala cerita tentang awal aku merasakan semuanya. Akan kuutarakan tanpa perlu membuatmu bertanya.

Membuatmu  juga “mungkin” ikut terdiam seperti kediaman yang selalu kutampilkan. Namun, akankah kau begitu ? karena nyatanya, sedikit saja gerak darimu mengisyaratkan bahwa kau tak pernah melihat bayanganku.

Maka, sejak kutahu bahwa kau hanya menganggapku seperti angin, dan kudengar dari bisikan riuh bahwa kau telah menamatkan hatimu ke yang lain. Aku mengganti cara. Katakanlah ini begitu licik dan memaksa. Namun, aku tak peduli. Sebab yang kutahu, sejak awal aku telah menulis namamu itu dengan sayatan pisau. Tak dapat dihilangkan. Kau membekas, tapi terasa sangat menyakitkan.

Maka malam itu, malam esoknya dan esoknya lagi. Hingga tadi malam. Aku duduk dilantai kamar ketika jangkrik dan dengkur masih bernyanyi di atmosfer bumi. Kuceritakan semuanya pada ”sosok” yang juga tak berbayang, yang dengan jahatnya membiarkanku mencintaimu dalam diam. Dan tahukah kau? Malam tadi.. ada sebuah pertanyaan yang mengalir darinya, diantara hembus tiap namamu itu..
“Sakitkah jika kau terus mencintainya dalam diam?”
“Sakitkah ? Mungkin.”
“Namun aku bisa apa, kecuali juga hanya menjawabnya dalam diam”.

Seandainya Tuhan memberikan kesempatan, aku ingin menemukanmu lebih cepat ketimbang yang keadaan sedang kuusahakan.

Belakangan ini, tidur di tiap malam terasa menakutkan. Rasanya di tiap aku memejam, aku harus dipaksa bahwa kini senyummu bukan untukku.

Setidaknya jika pada akhirnya kita tidak bisa bersama, apa yang terjadi hari ini di antara aku dan kamu, adalah apa yang terlintas dalam benakku ditiap kau mendengar namaku nanti, kenangan sepintas yang lebih indah dari selamanya.

Aku pikir aku memilikimu, untuk sepintas aku sempat berpikir bahwa aku memilikimu. Aku pikir kau akan berbeda dari yang datang sebelum-sebelumnya. Kedekatan kita dalam waktu yang singkat, berikut segala hal-hal yang membuatku istimewa ternyata bukanlah apa-apa. Untuk sepintas, aku sempat berpikir bahwa aku dan kau adalah kita.

Kamu tau ? ketika kamu bercerita lewat sms, aku tersenyum di dalam hati. Berharap kita terus senyaman ini, sepolos ini dan sebahagia ini. Tak peduli apapun statusnya nanti.

Kuharap ia yang mendampingimu sekarang atau nanti sesuai dengan apa yang kau inginkan. Meskipun ia tidak seperti aku, tidak selucu aku dan tidak seromantis aku. Aku masih disini, tak sedikitpun beranjak pergi. Datanglah kapanpun yang kau mau, hatiku selalu ada waktu.

Kau masih ingat perkataanku mengenai hujan, ya ! hujan paling besar yang pernah diturunkan Tuhan adalah hujan dari kedua kelopak matamu. Dan ujan paling hangat yang pernah aku rasakan adalah ketika kau menangis di punggungku. Jika pada akhirnya tetap bukan aku yang kau pilih untuk mendampingimu, semoga di setiap kau memejam mata, sosokku selalu ada dan mengenalmu adalah kebangkitan dalam hidupku, meski mengenangmu selalu membuatku bersedih.

Dulu, tak pernah kehabisan topik untuk dibicarakan, sekarang untuk menyapa atau memulai percakapan saja aku tidak tahu bagaimana caranya, yang aku tau kehilangan padahal belum memiliki itu menyakitkan. Dimana harap telah membumbung tinggi, sudah saling dekat dan saling menggenggam erat lalu entah bagaimana ceritanya kamu pergi dan aku tak punya hak untuk memintamu bertahan. Merasa dibuat punya padahal bukan siapa-siapa.


Kenapa kau harus datang sekarang ? dimana dirimu dulu ketika keadaannya masih memungkinkan? Kenapa aku harus jatuh cinta padamu? Mengapa kita tidak bisa bersatu? Mengapa kita harus nyaman ketika bersama? Mengapa kau baru datang sekarang? Bolehkah jika aku memintamu untuk tetap dekat ? Aku tak ingin kau pergi! Apakah aku egois jika berharap kau selalu ada? Apakah ini menyiksamu? Mengapa cerita kita harus berawal di halaman buku terakhirku? Ketika ceritaku sudah hampir menyentuh akhir, kau mendadak datang. Menawarkan diri sebagai sosok yang selama ini kucari. Mengapa? Mengapa aku bisa begitu nyaman di waktu yang begitu singkat? Jangan pergi! Aku mohon.


#Coretanmenujusenja
Kenangan Sepintas Kenangan Sepintas Reviewed by Silva_ on 3:04:00 pm Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.