Nasi Goreng

Laki-laki itu jadi perbincangan hangat diantara kawan-kawanku. 
Sosok yang baru mereka lihat. 
Tatapan penuh selidik begitu menelisik sosok yang begitu santai dan angkuh. 
Katanya laki-laki memiliki image yang kurang baik dan bersahabat, hanya saja aku tidak begitu peduli dengan apa yang mereka katakan. Setiap orang punya penilaian tersendiri bukan? Menurutku sendiri, laki-laki ini seperti sebuah mutiara. Bukan mutiara dari timur tapi mutiara yang tersembunyi dan hanya dapat ditemukan jika kita pandai dan tahu dimana. Laki-laki merupakan sebuah mesin, cerdas, berisik, bawel, keras kepala, anarkis kalo terpaksa dan tidak sesuai dengan argumen dengan dasar hukum yang di milikinya. Laki-laki ini sosok yang tangguh, ceria dan konyol. Apapun bisa dilakukan, dari mulai melukis, menulis, bahkan pertukangan. Yang tidak bisa dia lakukan adalah menerima kenyataan tentang dua terkasih di hidupnya. Saat ini dia tengah mengalami pergolakan dalam jiwanya. Salahnya, aku tidak mendampinginya sebagai seorang kawan, saudara atau apapun itu.

Bagiku laki-laki itu seperti gunung selain sebagai mutiara tentunya. Pemikiran dia berliku, terjal, penuh dengan hewan buas, berbahaya, namun di sela-sela lain kamu akan menemukan keindahan dan kenyamanan karenanya, dan kamu akan merasakan sensasi untuk kembali menikmati bahkan ingin menaklukan gunung itu.

Laki-laki itu Mario Subrata. Aku sering memanggilnya Ara. Lebih pendek dan mudah di ucapkan.

Aku mengenalnya tanpa sengaja, perkenalan ku dengannya satu hari setelah aku di putus hubungan oleh seseorang, awal pertemuanpun di dominasi dengan ocehan konyol dariku, seperti orang yang mabuk yang terus meracau tidak jelas.

Dia seperti sebuah suntikan, yang menyuntikkan semangat dengan caranya, begitu pendiam dan tidak banyak bicara. Beberapa hari masih aku yang mendominasi, kami sering bertemu untuk sekedar bertegur sapa, makan bersama hingga akhirnya berakhir dengan petikan gitar dan lantunan lagu yang dikumandangkan lewat telpon sampai tak ku gubris sedikitpun dan membiarkannya seperti radio.

Suatu malam, setelah konflik yang terjadi antara aku dan Rio, tiba-tiba Ara mengajakku menemaninya ke suatu bukit. Terang saja kami tidak berdua, ada Mae bersamaku. Lagi-lagi aku seperti orang gila, meracau tidak jelas, tertawa dengan terbahak-bahak menipu semua orang dan membiarkan mereka menganggapu baik-baik saja. Sementara malam itu suasana hatiku tengah buruk sangat buruk bahkan hari-hariku sedang sangat tidak baik, hanya saja akupun tidak mengerti di saat seperti itu aku justru terkesan sangat bahagia dan menikmati hidup dengan sesekali ada rasa nyeri di dada dan di kepala.

Dia hanya menatapku sesekali ikut tertawa melihat kekonyolan tingkahku.

Kala kurasa aku lelah, kala diam menjadi raja, akhirnya dengan ditemani dua cangkir susu coklat panas dan secangkir kopi kami menatap hamparan perumahan dan segala jenis kehidupan yang terlihat begitu kecil di atas perbukitan itu, saking kecilnya sampai yang nampak hanya kerlap kerlip cahaya yang berasal dari lampu-lampu yang berada di bawah sana.

“Hei, lihat kesana. Coba kamu bayangkan ada berapa banyak kepala disana? Ada banyak bukan? Masing-masing dari mereka memiliki masalah yang berbeda, namun semuanya memiliki. Jadi kamu bukan satu-satunya orang yang mempunyai masalah disini!!” suara Ara memecahkan keheningan yang sempat tercipta tadi. Mendengar celotehannya membuatku tertawa, tertawa dengan sangat lepas, mentertawakan kenyataan, mentertawakan kebodohan, mentertawakan apapun bahkan di saat tidak ada yang bisa di tertawakan lagi.

Suasana yang damai, berubah menjadi sendu terlebih rintik hujan mulai turun membasahi perbukitan. Menjadi pertanda kami harus segera pulang, jika tidak maka akan terhambat, jalan akan semakin licin dan gelap.

Perjalanan pulang kulalui dengan penuh rasa takut, gelap. Aku takut dengan kegelapan. Aku takut dengan kesendirian. Aku tau aku sadar bahwa hidup dan mati itu sendiri, sekalipun kembar yang keluar pastilah satu persatu tidak mungkin berbarengan, biarpun begitu aku tetap tidak nyaman dan membenci kegelapan. Gelap membuatku sesak, gelap mendekatkanku pada hal yang tidak ingin ku lihat, gelap membuatku mudah untuk dihampiri mereka, dan gelap selalu membuat mereka lebih tangguh dan mudah membawaku kemanapun. Aku benci gelap. Beruntung kegelapan tidak berlangsung lama, perlahan cahaya mulai datang lewat lampu dan rembulan. Gerimis itu hanyalah teguran untuk kami pulang, buktinya tidak bertahan lama samaseperti hubunganku hahaahaa..

Tibanya di asrama dia tidak lantas membiarkanku memasuki gerbang, dengan polosnya dia memintaku menaiki kembali kendaraan yang katanya tua itu dan mengajakku menutup malam dengan seporsi nasi goreng.

Hari demi hari yang terjadi antara aku dengannya semakin menggelitik untuk di ungkapkan. Dia sosok yang menyenangkan. Terlihat bodoh namun sangat pintar sebenarnya, terlihat kuat namun begitu rapuh. Sayang, saat itu aku hanya mampu merasakan tidak mengetahui apa yang terjadi sesungguhnya. Aku mulai menyukai kehadirannya, cerita-cerita tentangnya dari masa kecil hingga masa depan menjadi pengisi hariku. Dia yang pendiam ternyata sangatlah berisik, di saat seperti itu aku hanyalah menyimak dan menjadi seorang yang pendiam.

Satu bulan penuh dia menemaniku, rajin memberikan sarapan dan mengantar jemputku, tidak hanya di sana, dia juga rajin membuatku tertawa dengan tingkah dan kekonyolannya, tidak jarang ulahnya membuatku berdecak kagum.

Ara. Mario Subrata.

Laki-laki itu begitu kesepian, begitu merindukan kehangatan dari sosok yang jauh darinya.

Aku menyukainya, dan memiliki perasaan sayang padanya.

Ara lelaki yang baik. Sangat sangat baik.

Ara mempunyai mimpi yang begitu matang, terkonsep sempurna dan siap di eksekusi. Namun sayang, Ara masihlah manusia biasa. Menciptakan mimpi namun pembuat skenario belum mengijinkan, beliau masih menggodok mental Ara. Menjadikan Ara lebih kuat dari sebelumnya, menjadikan Ara sosok yang semilyar kali lebih baik.

Mimpi Ara begitu banyak, tak di sangka aku satu dari impian yang Ara ciptakan. 15 Februari 2017, Ara mengirimkan sebuah surat. Aku kira hari itu adalah peringatan NKRI ternyata bukan, bukan hanya lewat surat, Ara dengan lantang layaknya pembaca UUD membacakan isi surat tersebut. Begini bunyi surat yang di kirimkan Ara.

“PROKLAMASI !! Mario Subrata dengan ini menyatakan cita-citanya dengan penuh kesadaran dan tanpa tekanan dari siapapun dikumandangkan dengan sesingkat-singkatnya bahwa aku ingin menjadi pendampingmu mahluk ciptaan Tuhan yang bernama Annisa Luthpia Anggraeni. Pernyataan ini di buat di Majalengka, 2 Februari 2017 oleh Mario Subrata”.
Aku terkejut mendengarnya. Ara...

Bukankah kamu tau bagaimana kisah asmaraku? Bukankah kamu mengetahui kehidupanku? Bukankah kamu mengetahui semuanya? Lantas bagaimana bisa Ara? Bagaimana mungkin? Dalam sekejap itu kamu memutuskan sebuah cita-cita untuk hidup bersamaku bahkan sudah menentukan segala sesuatunya.

Ara, kamu menghancurkan pondasi yang sudah kamu bangun. Jangan terburu-buru Ara. Jangan. Kamu belum terlalu mengenalku rupanya Ara. Jangan.

Setelah semua yang terjadi, dengan cepat waktu membalikkan semuanya.

Entah apa jelasnya yang menjadikan sejauh ini, aku telah kehilangannya. Aku kehilangan Araku.

Seandainya saja kamu tidak memiliki mimpi itu, seandainya saja kamu lebih dapat menahan diri, seandainya saja ya seandainya saja. Ada sejuata andai-andai yang di sayangkan. Aku merindukanmu Ara.

Rindu akan kenangan yang pernah ada,hanya saja aku takut. Aku takut kamu melakukan hal yang tidak pernah usangka sedikitpun. Aku ingin menemanimu, aku tau apa yang terjadi, Ara. Bertahanlah. Jangan mati. Bukankah kamu sudah berjanji akan menjadi apapun di hidupku? Aku saudaramu Ara. Aku keluargamu, masihkah kamu menganggap itu?

Bertahanlah, kalahkan iblis itu.
Kamu adalah Kerinci.

Bertahanlah Ara..
Bertahanlah Mario Subrata.


Nasi Goreng Nasi Goreng Reviewed by Silva_ on 7:34:00 pm Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.