Analisis Struktural dan Semiotik Puisi Aku Karya Chairil Anwar


Proses analisis dan parafrase puisi Aku karya Chairil Anwar adalah sebagai berikut :

AKU 

Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi
                                                                   (DCD, 1959:7)
Bahasan yang akan di uraikan puisi aku ini akan lebih mengedepankan pada ekspresionalisme jiwa Chairil Anwar yang merupakan daya ekspresinya. Kalau si aku meninggal, ia menginginkan jangan ada seorang pun yang bersedih(‘’merayu’’), bahkan juga kekasih atau istrinya.
Tak perlu juga ada sedu sedan yang meratapi kematian si aku sebab tidak ada gunanya. Si aku  ini adalah  binatang jalang yang lepas bebas, yang terbuang dari kelompoknya, ia merdeka tidak mau terikat oleh aturan-aturan yang mengikat, bahkan meskipun ia ditembak peluru menembus kulitnya. Si aku tetap berang dan memberontak terhadap aturan-aturan  yang mengikat tersebut. Segala rasa sakit dan penderitaan akan ditanggungkan, ditahan, diatasinya, hingga rasa sakit dan menderita itu pada akhirnya akan hilang sendiri.
Si aku  akan makin tidak peduli pada segala aturan dan ikatan, halangan, serta penderitaan. Si aku mau hidup seribu tahun lagi, maksudnya secara kiasan, si aku menginginkan semangatnya , pikirannya, karya-karyanya akan hidup selama-lamanya.
Secara struktural, dengan melihat hubungan antar unsur-unsur dan keseluruhannya, juga berdasarkan kiasan-kiasan yang terdapat didalamnya, maka dapat ditafsirkan bahwa dalam sajak ini dikemukakan ide kepribadian bahwa orang itu harus bertanggung jawab terhadap dirinya.”Ku mau tak seorang kan merayu (bersedih)”. Orang lain hendaknya jangan campur tangan akan nasibnya, baik dalam suka maupun duka , maka “tak perlu sedu sedan itu”. Semua masalah pribadi itu urusan sendiri. Dikemukakan secara ekstrim  bahwa si aku itu orang yang sebebas-bebasnya (sebagi binatang jalang), tak mau dibatasi oleh aturan-aturan  yang mengikat. Dengan penuh semangat  si aku akan  menghadapi segala rintangan “tembusan peluru”, “bisa dan luka” dengan kebebasannya yang mutlak itu. Makin banyak rintangan makin tak memperdulikannya sebab hanya dengan demikian, ia akan dapat berkarya  yang bermutu sehingga pikiran dan semangatnya itu dapat hidup selama-lamanya, jauh melebihi umur manusia. “Aku ingin hidup serubu tahun lagi”, berdasarkan konteksnya kalimat itu ditafsirkan secara kiasan bahwa yang hidup seribu tahun adalah semangatnya bukan fisik.
Dalam kumpulan sajak Chairil Anwar yang lain (KRT), sajak ‘’aku’’ ini berjudul ‘’semangat’’. Sesungguh nya untuk menyatakan pernyataan sikap kepribadian lebih cocok judul ‘’aku’’, sedang ‘’semangat’’ dapat memberi efek bombastis: semangat-semangatan. Sikap penonjolan kepribadian ini ditandai dengan penyebutan ‘aku’ yang berulang-ulang: waktuku, ‘ku mau, aku ini, menembus kulitku, aku mau hidup..... Dalam KRT (1959) bait ke-1 baris. 2: kutahu tak seorang kan merayu’. Kata kutahu mengandung makna dan efek bahwa si aku ini sudah tahu orang lain tak akan memperdulikan dia hingga tak ada orang yang akan bersedih atas kematiannya, bahkan si engkau (kekasih, istrinya) pun tak akan meratapinya. Jadi, ia merasa itu dideklamasikan akan bernada sedih, tak bersemangat. Hal ini berlawanan dengan judulnya ‘’semangat’’. Maka, dalam Deru Campur Debu diganti dengan ‘ku mau. Di sini penyair secara sadar berdasar kemauannya tak ingin orang lain bersedih atas nasib dirinya. Jadi, bila dideklamasikan sajak itu penuh semangat, bergelora, tidak bersedih. Maka penggantian kutahu menjadi’ku mau ini secara struktural sangat tepat, memberikan koherensi pada seluruh baris-baris sajak ini ada keselarasan suasana, sikap, dan semangatnya.
Dalam sajak ini kemantapan pikiran dan semangat selain ditandai dengan pemilihan kata yang menunjukkan ketegasan seperti: ‘ku mau, tak perlu sedu sedan itu, aku tetap meradang, aku akan lebih tidak perduli, dan aku mau hidup seribu tahun lagi; juga ditandai oleh bunyi vokal yang berat: a dan u yang dominan. Pernyataan diri sebagai binatang jalang adalah kejujuran yang besar, berani melihat diri sendiri dari segi buruknya. Efeknya membuat orang tidak sombong terhadap kehebatan diri sendiri sebab selain orang mempunyai kehebatan juga ada cacatnya, ada segi jeleknya dalam dirinya.
Si aku Chairil ini adalah manusia yang terasing, keterasingannya ini memang disengaja oleh dirinya sendiri sebagai pertanggungjawabkan pribadi: ‘Ku mau tak seorang  ‘Kan merayu / Tidak juga kau’. Hal ini karena si aku adalah manusia bebas yang tak mau terikat keada orang lain: ‘Aku ini binatang jalang / Dari kumpulannya terbuang’. Dan si aku ini menentukan “nasibnya” sendiri, tak mau terikat oleh kekuasaan lain: ‘Aku mau hidup seribu tahun lagi!’.
Pengakuaan dirinya sebagai binatang jalang dan penentuan nasib sendiri. ‘Aku mau hidup seribu tahun lagi’ adalah merupakan sikap revolunisioner terhadap paham dan sikap atau pandangan para penyair yang mendahuluinya (Pujangga Baru).
Dalam sajak ini intensitas pernyataan dinyatakan dengan sarana retorika yang berupa hiperbola, dikombinasi dengan ulangan (tautologi), serta diperkuat oleh ulangan bunyi vokal a dan u ulangan bunyi lain serta persajakan akhir seperti telah dibicarakan di atas.
Hiperbola tersebut:
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
       
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

 .....
Aku mau hidup seribu tahun lagi

Gaya tersebut disertai ulangan bunyi i-i yang lebih menambah intensitas:

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
. . . . perduli
. . . . lagi
Dengan hiperbola tersebut penonjolan pribadi tampak makin nyata disana ia mencoba untuk nyata berada  di dalam dunianya.
Sajak  “Aku” ini menimbulkan banyak tafsir, bersifat ambigu, hal ini disebabkan oleh ketidaklangsungan ucapan dengan cara bermacam-macam. Semuanya itu untuk menarik perhatian, untuk menimbulkan pemikiran, dan untuk memproyeksikan prinsip ekuivalensi dari poros pemilihan ke poros kombinasi (Jakobson, 1978:363). Di sini dipergunakan penyimpangan arti (distorting) (Riffaterre,1978:2): ‘kalau sampai waktuku’ dapat berarti ‘kalau aku mati; ‘tak perlu sedu sedan itu’ dapat berarti ‘Tidak juga engkau anakku, isteriku, atau kekasihku’. Semua ini menurut konteksnya. Jadi, ambiguitas arti ini memperkaya arti sajak itu. Ambiguitas arti itu juga disebabkan oleh penggantian arti (displacing), yaitu dalam sajak ini banyak dipergunakan bahasa kiasan, di sini di pergunakan metafora, baik metafora penuh maupun implisit. Metafora penuh seperti: ‘Aku ini binatang jalang.’ Maksudnya, si aku itu seperti binatang jalang yang bebas tidak terikat oleh ikatan apa pun.
Metafora implisit di sini: peluru, luka dan bisa, pedih peri. ‘peluru’ untuk mengiaskan serangan, siksaan, halangan, ataupun rintangan. Meskipun si aku tertembus peluru: mendapat siksaan, rintangan, serangan ataupun halangan-halangan, ia tetap akan meradang, menerjang: melawan dengan keras, berbuat nekat demi kebenarannya. ‘Luka dan bisa’ untuk mengiaskan penderitaan yang didapat, yang menimpa. ‘Pedih peri’ mengiaskan kesakitan, kesedihan, ataupun penderitaan akibat tembusan peluru di kulit si aku (halangan, rintangan, serangan, ataupun siksaan). Dengan kiasan itu gambaran menjadi konkret, berupa citra-citra yang dapat diindera, gambaran menjadi nyata seolah dapat dilihat, dirasakan skitnya. Di samping itu, kiasan-kiasan tersebut menyebabkan kepadatan sajak.
Untuk menyatakan semangat yang bernyala-nyala untuk merasakan hidup yang sebanyak-banyaknya dipergunakan kiasan; ‘Aku mau hidup seribu tahun lagi’. Jadi, di sini kelihatan gambaran bahwa si aku penuh vitalitas mau mereguk hidup ini selama-lamanya.
Penyimpangan arti (distorting) dan penggantian arti (displacing) itu menyebabkan sajak “Aku” ini dapat ditafsirkan bermacam-macam sesuai dengan saran kata-kata dan kalimatnya. Hal ini menyebabkan sajak ini selalu “baru” setiap dibaca dengan tafsiran-tafsiran baru yang memperkaya arti sajak ini, ditimbulkan oleh kemampuan struktur sajak ini, yang menjadi dinamis oleh polyinterpretabilitasnya.



B.  Analisis Struktur Puisi
a.    Tema
     Judul puisi tersebut adalah AKU, menggunakan tema tentang semangat hidup seseorang yang ingin selalu memperjuangkan haknya tanpa merugikan orang lain, walaupun banyak rintangan yang ia hadapi. Dari judulnya sudah terlihat bahwa puisi ini menceritakan kisah ‘AKU’ yang mencari tujuan hidup.
b.    Pemilihan Kata ( Diksi )
     Pemilihan kata pada puisi AKU terlihat bahwa sang penulis menulisnya dengan bahasa yang mudah dipahami oleh pembaca dan mempunyai emosi yang cukup kuat. Untuk ketepatan pemilihan kata sering kali penyair menggantikan kata yang dipergunakan berkali-kali yang dirasa belum tepat, diubah kata-katanya. Seperti pada baris kedua: bait pertama
“Ku mau tak seorang ’kan merayu”
Merupakan pengganti dari kata “ku tahu”.
“kalau sampai waktuku”
dapat berarti “kalau aku mati”
“tak perlu sedu sedan“
dapat berarti “berarti tak ada gunannya kesedihan itu”.
“Tidak juga kau” dapat berarti “tidak juga engkau anaku, istriku, atau kekasihku”.
c.    Pengimajian
Melalui diksi, penyair berupaya menumbuhkan pembayangan para penikmat sajak-sajaknya. Semakin kuat dan lengkap pembayangan yang dapat dibangun oleh penikmat sajak-sajaknya, maka semakin berhasil citraan yang dilakukan penyair. Di dalam sajak ini terdapat beberapa pengimajian, diantaranya :
‘Ku mau tak seorang ’kan merayu (Imaji Pendengaran)
‘Tak perlu sedu sedan itu’ (Imaji Pendengaran)
‘Biar peluru menembus kulitku’ (Imaji Rasa)
‘Hingga hilang pedih perih’ (Imaji Rasa).
c.    Kata nyata
Secara makna, puisi Aku tidak menggunakan kata-kata yang terlalu sulit untuk dimaknai, bukan berarti dengan kata-kata tersebut lantas menurunkan kualitas dari puisi ini. Sesuai dengan judul sebelumnya, puisi tersebut menggambarkan tentang semangat dan tak mau mengalah, seperti Chairil itu sendiri.
d.   Bahasa Figuratif ( Majas )        
Dalam puisi tersebut menggunakan majas hiperbola pada kalimat “Aku tetap meradang menerjang”. Terdapat juga majas metafora pada kalimat “Aku ini binatang jalang”
e.    Rima atau Ritme
Ritme dalam puisi yang berjudul ‘Aku’ ini terdengar menguat karena ada pengulangan bunyi (Rima) pada huruf vocal ‘U’ dan ‘I’
Vokal ‘U’ pada larik pertama dan ke dua, pengulangan berseling vokal a-u-a-u
Larik pertama ‘Kalau sampai waktuku.’
Larik kedua ‘Ku mau tak seorang-’kan merayu.
Larik kedua ‘Tidak juga kau’.
Pengulangan vokal ‘I’:
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih perih
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
f.     Perasaan
Dalam puisi tersebut menggambarkan perasaan penulis yang optimis untuk memperjuangkan hidupnya yang dipenuhi dengan rintangan seberat apapun, sikap kegigihannya yang sangat tinggi. Selain itu ada beberapa bait yang menggambarkan kesedihan karena keberadaan tokoh ‘AKU’ pernah tidak di anggap oleh orang lain. Dan tokoh ‘AKU’ yang berpesan agar tidak menagisinya ketika ia meninggal nanti.
g.    Nada dan Suasana                                                                                              
Dalam puisi tersebut penulis menggambarkan nada-nada yang berwibawa, tegas, lugas dan jelas dalam penyampaian puisi ini, karena banyak bait-bait puisi tersebut menggandung kata perjuangan. Dan menggunanakan nada yang syahdu di bait yang terkesan sedikit sedih.                                            
Suasana yang terdapat dalam puisi tersebut adalah suasana yang penuh perjuangan, optimis dan kekuatan emosi yang cukup tinggi tetapi ada beberapa suasana yang berubah menjadi sedih karena dalam puisi tersebut menceritakan ada beberapa orang yang tak menganggap perjuangannya si tokoh.
h.    Amanat
Amanat yang terkandung dalam puisi tersebut adalah semangat dan kegigihan dalam memperjuangkan tujuan hidup haruslah kuat jika itu semua ingin tercapai. Manusia harus tegar, kokoh, terus berjuang, pantang mundur meskipun rintangan menghadang. Manusia harus berani mengakui keburukan dirinya, tidak hanya menonjolkan kelebihannya saja. Manusia harus mempunyai semangat untuk maju dalam berkarya agar pikiran dan semangatnya itu dapat hidup selama-lamanya. Lakukan selama hal itu benar, jangan takut akan kegagalan seberat apapun dan jangan apa yang kita lakukan itu merugikan orang lain. Karena perbuatan baik akan terkenang hingga raga telah tiada.

C.  Analisis Puisi berdasarkan Respon Pembaca
Analisis puisi dengan pendekatan respons pembaca adalah sebagai berikut.
1)   Puisi ini sangat menyentuh hati dan menarik pembaca untuk membaca puisi tersebut. Dalam puisi ini seolah-olah penyair menggambarkan semangat dan kegigihan dalam memperjuangkan haknya tanpa merugikan orang lain, walaupun banyak rintangan yang ia hadapi dalam mencari tujuan hidup.
2)   Hal menarik yang dikutip dalam puisi tersebut, penyair menggunakan diksi terlihat bahwa sang penulis menulisnya dengan bahasa yang mudah dipahami tetapi banyak makna yang luas sehingga pembaca dapat dengan mudah memahami maksud dari puisi tersebut. Seperti pada baris kedua: bait pertama
“Ku mau tak seorang ’kan merayu”
Merupakan pengganti dari kata “ku tahu”.
“kalau sampai waktuku”
dapat berarti “kalau aku mati”
“tak perlu sedu sedan“
dapat berarti “berarti tak ada gunannya kesedihan itu”.
“Tidak juga kau” dapat berarti “tidak juga engkau anaku, istriku, atau kekasihku”.
3)   Perasaan saya setelah membaca puisi tersebut adalah terharu dan sedih. Karena, penyair dapat dengan jelas menggambarkan perasaan seseorang yang penyair sebut “aku” merasakan menggambarkan kesedihan karena keberadaan tokoh ‘AKU’ pernah tidak di anggap oleh orang lain. Dan tokoh ‘AKU’ yang berpesan agar tidak menagisinya ketika ia meninggal nanti. Sehingga seolah- pembaca dapat masuk kedalam cerita puisi tesebut dan ikut merasakan apa yang penyair sampaikan.
4)   Tema yang terdapat dalam puisi diatas mengenai semangat hidup seseorang yang ingin selalu memperjuangkan haknya tanpa merugikan orang lain, walaupun banyak rintangan yang ia hadapi. Ritme dalam puisi yang berjudul ‘Aku’ ini terdengar menguat karena ada pengulangan bunyi (Rima) pada huruf vocal ‘U’ dan ‘I’. Vokal ‘U’ pada larik pertama dan ke dua, pengulangan berseling vokal a-u-a-u. Bahasa yang digunakan juga sangat sederhana dan menggunakan diksi yang mudah dipahami tetapi banyak makna yang luas sehingga pembaca dapat dengan mudah memahami maksud dari puisi tersebut.  Nada dan suasana yang diungkapkan penyair dalam puisi diatas adalah menggambarkan nada-nada yang berwibawa, tegas, lugas dan jelas dalam penyampaian puisi ini, karena banyak bait-bait puisi tersebut menggandung kata perjuangan. Dan menggunanakan nada yang syahdu di bait yang terkesan sedikit sedih. Dan dengan suasana yang penuh perjuangan, optimis dan kekuatan emosi yang cukup tinggi tetapi ada beberapa suasana yang berubah menjadi sedih karena dalam puisi tersebut menceritakan ada beberapa orang yang tak menganggap perjuangannya si tokoh.
5)   Nilai yang terkandung dalam puisi tersebut yaitu dalam menjalani hidup manusia harus tegar, kokoh, terus berjuang, pantang mundur meskipun rintangan menghadang. Manusia harus berani mengakui keburukan dirinya, tidak hanya menonjolkan kelebihannya saja. Manusia harus mempunyai semangat untuk maju dalam berkarya agar pikiran dan semangatnya itu dapat hidup selama-lamanya. Lakukan selama hal itu benar, jangan takut akan kegagalan seberat apapun dan jangan apa yang kita lakukan itu merugikan orang lain. Karena perbuatan baik akan terkenang hingga raga telah tiada.
6)   Setelah Saya membaca dan menganalisis puisi diatas, Saya berpendapat puisi tersebut dapat direkomendasikan untuk dibaca oleh semua khusunya pelajar, dan mahasiswa. Karena, dalam puisi tersebut mengandung amanat yang disampaikan oleh penyair untuk pembaca dapat dijadikan sebuah pembelajaran hidup bagi pembacanya. Dan puisi tersebut dapat menjadi sebuah pembelajaran agar dapat mengkritik karya sastra dengan baik berdasarkan unsur-unsur puisi yang ada.

D.  Analisis Puisi Berdasarkan Moral dan Psikologis
Analisis puisi dengan pendekatan moral pada puisi “Aku” ini, penulis mengungkapkan bahwa keyakinan dan tekadnya sangat bulat. Meski beribu rintangan dan halangan menghadang, tapi penulis tetap memegang teguh keyakinannya dalam mencari tujuan hidup.
Seperti pada bait keempat dan kelima:
Biar peluru menembus kulitku 
Aku tetap meradang menerjang 
Luka dan bisa kubawa berlari 
Berlari 
Hingga hilang pedih peri 
Analisis puisi dengan pendekatan psikologis pada puisi “Aku” ini, pengarang mampu lebih mengedepankan pada ekspresionalisme jiwa Chairil Anwar yang merupakan daya ekspresinya melalui pemikiran mengenai semangat dan kegigihan dalam memperjuangkan haknya tanpa merugikan orang lain, walaupun banyak rintangan yang ia hadapi dalam mencari tujuan hidup.
Seperti pada bait pertama:
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Penulis mengungkapkan melalui rasa emosionalnya kalau si aku meninggal, ia menginginkan jangan ada seorang pun yang bersedih (merayu), bahkan juga kekasih atau istrinya.


Analisis Struktural dan Semiotik Puisi Aku Karya Chairil Anwar Analisis Struktural dan Semiotik Puisi Aku Karya Chairil Anwar Reviewed by Silva_ on 6:48:00 pm Rating: 5

1 comment:

Puisi Sahabat said...

Dari segi apapun, puisi ini sangat sempurna.

Powered by Blogger.