Confused



“Aduh neng, kemana aja udah lama enggak kesini ya. Makin cantik aja nih. Kemarin bibi liat foto nya di hp dede, coba aja istrinya dede kaya neng,duh suka miris kalo diingat-ingat.” Ujarnya berseru, wajahnya yang semula nampak antusias berubah jadi pucat.

Tangannya tidak berhenti mengulek bumbu yang ada dihadapannya. Para pembeli melihat kearahku secara serentak dan tersenyum, aku membalasnya dengan memberikan seulas senyuman.

“Kemarin dede dirumah kamu ngerepotin kayanya ya neng?”

“Ah, enggak kok, enggak ngerepotin sama sekali.” Jawabku ringan. “Eh iya, tolong dibuatkan ya seperti biasanya, mentah dan pedes 3, lupa belum pesen heheee..”

“Siap..” dengan senyuman yang mengembang diwajahnya. “Dede tuh kemarin disuruh pulang paksa sama bibi neng, ngapain juga dia harus lama-lama di Surabaya, ngurusin anak sama istri yang sama sekali enggak diharapkan..” nada bicaranya mulai berubah meninggi. “Neng lagi sama orang mana sekarang? Mau nikah taun ini kah?” tanyanya penuh selidik.

Ceritakita - Bibi itu terus berbicara kepadaku, tanpa memperhatikan bagaimana dengan pembeli yang lain yang sudah tentu mereka menyimak semua yang dibicarakan kami.

“Belum ke orang manapun, dan belum ada rencana menikah dalam waktu dekat”. Aku menjawab sekenanya, melemparkan pandangan ke jalan raya. Pikiranku mulai memasuki lorong waktu.

Untuk sepersekian detik aku kembali menguasai diri, mendengarkan kembali apa yang dibicarakan bibi itu padaku.

“Bibi emang orang gak punya, anak-anak bibi juga enggak terlalu bagus tapi bibi sangat menyesalkan kenapa anak bibi yang satu itu membuat ulah sampai menjadi begini. Setiap kali melihat keluarga perempuan yang jadi istrinya sekarang lewat bahan menyapa, perasaan bibi selalu panas selalu saja tidak terima dan emosi memuncak. Meskipun tau ini semua sudah takdir dan sudah jalannya tapi tetap saja bibi belum bisa menerima keadaan ini. Eh iya kamu sudah tau istrinya si Januar?”

“Belum, kemarin dia gak datang soalnya”.

“Perempuan itu sangat cantik, dan anggun. Dia juga sering kemari. Awalnya bibi kira itu siapa, pendatang darimana. Dan begitu tau itu istrinya Januar ya ampun bibi kaget luar biasa. Bukannya bibi mau gimana tau sendiri kan januar kaya gimana, dan dia amat sangat beruntung memiliki istri seperti itu. Sedangkan dede..” dia menghela napas panjang, “Bibi tidak tau apa kesalahan yang telah bibi dan mamang perbuat sampai seperti ini”. Dia terus saja bercerita tentang keluh kesah yang dihadapinya. Aku yang jadi lawan bicaranya merasa bingung harus bersikap bagaimana.

“Neng, jangan dulu nikah kalo belum siap. Usia kamu sekarang memang rentan. Hampir semua teman seangkatan sudah pada punya pasangan dan bahkan anak termasuk dede,” dia kembali menghela nafas panjang “Tapi kamu, anak yang dari kecil bibi tau, kamu anak yang cemerlang, cantik, kejar dulu impian kamu. Apalagi sekarang lagi kerja kan? Laki-laki akan banyak yang datang dan menghampiri. Bibi juga pengen banget punya menantu kaya kamu, dan kelak jika tiba saatnya ada laki-laki yang datang dan memang ditakdirkan untuk kamu pasti orang itu yang terbaik, sudah mapan dan bisa membahagiakan kamu.”

Aku hanya bisa tersenyum mendengar apa yang dikatakannya. Pandanganku masih menatap sekitar. Terkadang melihat kejalan raya, terkadang menatap wanita paruh baya yang tetap khusu mengulek bumbu dan bercerita. Terkadang juga aku melemparkan pandangan kepada pembeli lain yang masih nangkring disana. Lalu aku pun menunduk melihat jam diponselku.

Pikiranku mulai menerobos lorong waktu. Jauh-jauh sekali terus mundur ke masa-masa dimana semuanya masih menjadi tahapan awal. Ya, dede yang dibicarakannya adalah anak kedua bibi itu. Yang tidak lain adalah kawanku dari sejak kecil. Dulu kami bertetangga. Dan hampir semua anak disekitar rumahku sebaya denganku dan mereka mayoritas anak laki-laki.

Anak itu dari kecil memang sudah terkenal badung meskipun nampak pendiam namun tetap saja kenakalannya tidak bisa disembunyikan begitu saja.

Sampai akhirnya dia pergi merantau dan pulang-pulang membawa aib yang cukup sulit disembunyikan dari siapapun. Kekecewaan yang dirasakan pihak keluarga nampak jelas. Aku meskipun tau tentang bagaimana permasalahanya bertingkah seolah tidak tau apa-apa.

Jelasnya aib sebesar apapun bukan hanya merugikan pihak perempuan namun juga pihak laki-laki. Lantas apa nikmatnya hubungan yang tidak diridhoi oleh seorang ibu bahkan ayah pun bisa jadi turut tak memberikan ridhonya. Luka yang terus tertanam semakin dalam meskipun telah hadir buah hati yang sama sekali tidak berdosa dan tidak mengetahui perbuatan buruk kedua orangtuanya, kedua orang paruh baya itu nampak berbeda dari orangtua lain yang kutemui tatkala anaknya melakukan hubungan diluar nikah hingga menghasilkan malaikat mungil yang lucu.

Kebanyakan orangtua yang memiliki nasib sama menerima dan terkesiap setelah melihat ada anak kecil yang tak berdosa itu, melupakan segalanya dan seolah tidak terjadi apa-apa. Sangat berbeda dengannya. Wajahnya yang sudah dipenuhi keriput itu kini berbeda, semanjak kejadian itu aura kebabahagiaan yang adapadanya mulai meredup, bahkan semakin meredup. Dia selalu terlihat susah dan menyesalkan segala hal yang terjadi pada anaknya itu.

Terkadang dia lupa sedang berbicara dengan siapa dan berbicara dimana. Namun itu menandakan bahwa selama ini dia butuh teman bicara untuk mengeluarkan keluh kesahnya sehingga jadi kalap kala ada orang yang ingin dijadikan pendengar. Denganku salah satunya.

Melihat dengan apa yang dikatakannya, mengingatkanku pada keadaan orang tua dirumah.

Mereka yang kerap kali membicarakan rencana pernikahanku kelak, membicarakan kehidupan rumah tanggaku kelak dan segala hal dengan masa depanku yang te;ah dinikahkan.

Meskipun seringnya mereka membicarakan itu dibelakangku  namun aku tetap mengetahuinya dengan tak sengaja mendengar apa yang dibicarakannya.

Aku tau, orangtua ku menaruh harapan besar untukku segera memiliki pasangan hidup, seseorang yang akan menjagaku setelah kedua orangtuaku, yang akan membahagiakan seperti mereka yang berusaha membuatku bahagia dengan segala upaya, seseorang yang akan mengajari dan bersama-sama untuk lebih dekat kepadaNya.

Meski dihadapanku mereka tidak membicarakan ini secara terang-terangan namun ini tetap menjadi beban pikiranku.

Aku bahkan sudah tidak merasakan jatuh cinta pada seseorang mah, seandainya mamah tau bagaimana hambarnya perasaan yang aku miliki sekarang.

Semua hal yang terjadi, semua yang telah berlalu menjadi pemicu rasa ini ada. Aku minta maaf jika sampai saat ini masih belum bisa memenuhi permintaan mamah dan apa untuk memberikan sosok itu.

Aku bahkan belum mampu mengurus diriku sendiri. Bukan aku tidak ingin membina rumah tangga, bukan aku tidak ingin mewujudkan apa yang kalian harapkkan, namun belum saatnya.

“Neng, ini udah pesenannya. Jangan ngelamun terus ngelamunin apa..?” ujarnya tertawa.

Rupanya aku ketauan melamun dan tanpa sadar semua pembeli sudah sepi. “Ah iya, hahaaaa maaf tadi agak melamun sedikit” ujarku penuh malu.

“Ah, ngelamunin apa kamu tuh? Nanti juga kamu akan menikah kok, dan bibi juga pasti datang kesitu untuk meramaikan dan menyaksikan.. tenang saja”. Senyuman tulus mengembang diwajah keriputnya.

“Oh, jelas. Jika sudah waktunya semuanya pasti diundang dan harus hadir. Hahaaa meski itu tidak tau kapan. Eh iya jadi semuanya berapa?”

“Tidak perlu terburu-buru, pelan-pelan saja. Kadang apa yang diinginkan tidak langsung kita dapatkan”. Kali ini dia menatapku lama dan tersenyum penuh arti. “Semuanya jadi 15000 saja, seperti biasa”. Dia kemudian menyerahkan pesananku.

Aku memberikan tiga lembar lima ribu, mengucapkan terimakasih dan segera berpamitan.

“Tumben lama, ngantri yah?” mamah langsung bertanya tepat ketika motor baru saja kupakirkan didepan rumah.

“Iya, ngantri jam lapernya lagi kompakan jadi banyak yang kesitu deh”. Aku memberikan plastik hitam itu kepadanya.

“Yaudah ayo makan dulu, nanti kan kalo kamu udah nikah mah bakal jarang makan bareng gini lagi tuh..” ujarnya membelakangi ku.

Aku hanya terdiam.
Persoalan soal menikah memang takkan bisa terlepas sebelum saatnya aku mewujudkan semua itu.

Mamah terus mengajakku berbicara kesana kemari. Aku senang karena yang dibicarakannya bukan merujuk pada pernikahan namun itu tidak berlangsung lama. Tepat disuapan terkahir pertanyaan telak kembali diutarakannya.

“Gimana sama yang ada niatan ngelamar kemarin? Udah kamu jawab?”

“Aku tolak lagi mah..”

“Kenapa?”

“Enggak sreg!”

“Kamu tuh maunya yang kaya gimana? ayolah mumpung kami masih muda dan saudara-saudara masih pada sehat, mamah juga sudah ingin memiliki cucu..”

“Mamah ku yang cantik, menikah kan Cuma sehari ribetnya, tapi kehidupan setelah pernikahan itu mamah juga tau berat.”

“Kalo kamu keukeuh sama pendirian kamu kudu mapan kudu ada kerjaan itu lama sayang, lagian kamu perempuan kamu juga berpendidikan setelah menikah kamu pun masih bisa mengajar anak-anak. Rezeki itu jangan disepelekan. Jangan takut bakal kelaparan dan tidak bisa bertahan hidup setelah melakukan pernikahan..”

“Sini piringnya, aku taro dulu..”. aku mengambil piring dan berusaha tidak melanjutkan pembicaraan yang membuat otakku mandet.

Belum saatnya.
Belum saatnya.

Hanya itu yang mampu kukatakan.  

Confused Confused Reviewed by Silva_ on 11:06:00 am Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.