ceritakita - Adanya mahes jadi kebahagiaan tersendiri untukku.
Aku jadi memiliki seseorang untuk berbagi. Aku yakin kalian sudah dapat menebak
siapa aku bukan? Ya aku Kirana Adya Jenaka. Orangtuaku yang memberikan nama
seperti itu, kebanyakan orang selalu heran dengan nama belakangku, Jenaka.
Jarang sekali orang menggunakan nama seunik itu di zaman ini.
Aku anak tunggal, sama seperti Mahes. Namun ibuku
bukan memiliki masalah seperti apa yang tante Ida miliki, namun beliau tidak
ingin punya anak lagi karena ibu adalah anak ke 8 dari 12 bersaudara. Besar
kecilnya pasti kalian tau apa alasannya ibuku lebih memilih mempunyai anak satu
saja. Yaitu aku Kirana Adya Jenaka.
Aku dan Mahes berada dalam jurusan yang berbeda,
dimana dia lebih menyukai menjadi seorang jurnalis handal sedangkan aku memilih
menjadi seorang ahli hukum.
Bukankah kami saling melengkapi?
Sejauh ini kehidupan kami sangat cukup, terlebih
dengan Mahes yang ditakdirkan sejak bayi hidup bergelimangan harta. Berbeda
denganku yang hanya satu orang pekerja dirumahku, ya dia ayahku. Ibu memilih
jadi ibu rumah tangga dan melepas gelar doktor yang diraihnya. Katanya, ilmu
yang dimiliki bisa diamalkan dengan cara apapun tidak mengapa tidak umum dengan
yang lain, mendampingi anak dan suami serta memberikan kasih sayang, cinta dan
pendidikan itu lebih menghidupkan rumah. Namun biar begitu, ibuku memberikan
kebebasan untukku. Beliau tidak memaksaku mengikuti jejaknya untuk berhenti dan
melepas karir selepas menikah, namun biar begitu rasanya tidak ada yang salah
juga jika pada saatnya aku mengikuti jejak ibu.
Usiaku kini menginjak 23 tahun. Berbeda 3 tahun
dari Mahes. Meskipun terpaut usia, tidak menjadi pembatas kedekatan antara aku
dengannya. Sepertinya semua ini diawali karena kita sama-sama kesepian dan
tidak memiliki sanak saudara sama sekali.
Baik orangtuaku dan orangtua Mahes, mereka
sama-sama orang-orang yang mandiri. Selepas menikah, keduanya sama-sama memilih
berpisah dari kedua pihak keluarga dan hidup bersama pasangan ditempat yang
jauh. Entahlah, seperti ini ada enaknya ada tidak juga.
Tidak enaknya aku jadi kurang mengenal saudara
saudari yang jauh disana, dengan jumlah saudara ibu yang bejibun bisa
dibayangkan berapa besar keluargaku diluaran sana.
Aku pun bersyukur hidup ditengah masyarakat modern
yang tidak memusingkan mengenai pernikahan di usia ku saat ini. Kalian tau?
Selain Mahes, aku mempunyai sahabat lain namanya Lastri. Sulastri Dwi Astuti.
Anak cantik berponi dan memakai kacamata ini selalu saja dipusingkan dengan
keinginan orangtuanya untuk segera menikah. Usut punya usut, kondisi masyarakat
ditempat Lastri tinggal mayoritas menikahkan anak mereka pada kisaran usia
20an. Sedangkan Lastri yang seusia denganku dan merantau untuk kuliah bersama
di salah satu Universitas swasta ternama disini selalu berbeda pendapat dengan
keluarganya dikampung. Menurutnya, menikah itu tidak didasarkan pada usia, jika
sudah saatnya dia pasti menikah, namun berbeda dengan orangtua. Ya begitulah
hidup. Selalu saja ada hal yang menarik untuk dapat dipikirkan.
Sulastri Dwi Astuti, gadis kelahiran 6 Maret 1994.
Berperawakan tinggi, berkulit putih, memiliki lesung pipit dipipi kanan,
bermata besar dengan hidung jongkok dan bibir yang kasual. Sangat pendiam untuk
gadis seusianya. Gayanya yang fashionable tidak sebanding dengan sikap pendiam
Lastri terlebih dia merupakan salah satu calon hakim masa depan.
Berbeda denganku yang cuek dengan penampilan,
rambut pendek acak-acakan, baju jarang beli kalo belum bener-bener sobek parah.
Ya lagi-lagi perbedaan yang menyatukan antara aku dengannya.
Tulisan ini merupakan kisah yang aku alami bersama
kedua sahabat baikku. Kisah yang diselingi dengan segala tingkah konyol dan
gila. Dan kisah yang penuh dengan penyesalan pada akhirnya.
Empat
Reviewed by Silva_
on
6:36:00 pm
Rating:
No comments:
Post a Comment